Pilpres 2019

Prabowo Tersandera antara SBY dan Umat 212

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bersama Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Presiden PKS Shohibul Iman (santrinews.com/antara)

Jakarta – Dua hari jelang penutupan pendaftaran Pilpres 2019, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih kebingungan menentukan cawapresnya.

Prabowo tersandera di antara dua kutub: umat 212 dan SBY. Parpol-parpol koalisi pendukung Prabowo juga belum solid satu suara. Masing-masing menyodorkan nama cawapres.

Tak pelak, Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir menyindir Prabowo. Inas merunut dari Prabowo mendatangi Habib Rizieq Syihab di Mekah, Arab Saudi, beberapa waktu lalu. Saat itu, Rizieq meminta Gerindra bersama PKS, PAN, dan PBB bersatu menjadi Koalisi Keummatan.

“Beberapa waktu yang lalu saya pernah mengatakan bahwa Prabowo berada di kelek (ketiak) Habib Rizieq Syihab (HRS) karena dia begitu manut kepada HRS sehingga harus sowan ke Arab Saudi untuk meminta restu HRS untuk nyapres,” ujar Inas dalam keterangan tertulisnya, Rabu 8 Agustus 2018.

Inas lalu menyinggung soal Ijtimak Ulama yang diselenggarakan oleh GNPF-U. Prabowo hadir dalam perhelatan yang hasilnya adalah merekomendasikan Prabowo sebagai capres, dengan dua kandidat cawapres: Ustaz Abdul Somad dan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri.

“Semakin kental perkelekan tersebut ketika Prabowo mematuhi instruksi HRS agar hadir dalam Ijtimak Ulama GNPF yang dihadiri oleh segelintir ulama saja dan bukan mewakili ulama Indonesia yang jauh lebih banyak dan tidak hadir di acara Ijtimak tersebut, di mana Prabowo wajib mematuhi rekomendasi Ijtimak Ulama GNPF dalam memilih cawapresnya,” tutur Inas.

Sindiran anggota DPR ini belum selesai. Dengan nada sarkastis, Inas menyebut justru rekomendasi Ijtimak Ulama membuat Prabowo seperti ‘tersandera’, padahal dua kandidat itu tidak akan memberikan dampak elektoral yang cukup besar.

“Rekomendasi ini menjadi dilema untuk Prabowo karena 2 orang bakal cawapres tersebut sama sekali tidak akan bisa membantu logistik yang diperlukan untuk menuju RI-1, padahal sumbangan kencleng yang diharapkan dapat menghimpun dana besar untuk logistik pilpres ternyata jauh api daripada panggang,” ujarnya.

Lalu Inas menyinggung soal masuknya Partai Demokrat ke koalisi Prabowo. Dukungan dari Ketum PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan lebih menguntungkan Prabowo, tapi tetap ada timbal baliknya, yakni posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

“Adanya tawaran SBY untuk berkoalisi dengan Prabowo bukannya tidak ada daya tarik, yang pasti adalah logistik bisa terjamin karena dana yang luar biasa besar akan mengalir ke kocek pemenangan pilpres Prabowo, asalkan Prabowo mau menerima AHY sebagai bakal cawapresnya,” sebut Inas.

Hanya, dia menyoroti soal sosok SBY yang pernah menjadi presiden dua periode. Bila pada akhirnya berhasil menjadi presiden, menurut Inas, Prabowo akan didikte oleh SBY.

“Kemesraan Prabowo dengan SBY dapat kita lihat akhir-akhir ini di mana ketika mereka tampil berdua, SBY selalu mengambil peran dalam berbagai konferensi pers SBY-Prabowo,” ucapnya.

“Dan apakah ini berarti bahwa sekarang Prabowo pindah ke kelek SBY? Kalau memang AHY menjadi bakal calon cawapres Prabowo, dan jika mereka menang pilpres, maka roda pemerintahan akan diatur oleh SBY,” lanjut Inas.

Hingga Rabu siang ini, koalisi Prabowo belum mencapai kata sepakat. PKS masih berusaha mendorong Salim Segaf atau kadernya menjadi cawapres Prabowo, walau tetap juga mau menerima Ustaz Abdul Somad sebagai hasil Itjimak Ulama.

PAN juga ingin tokoh cawapresnya dipilih. Sedangkan Demokrat mengusulkan AHY sebagai cawapres Prabowo. (us/dtk)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network