Jokowi Sarungan Vs Busana Trans-ideologi

Oleh: Fawaid Abdullah

Entah ini suatu kesengajaan atau tidak? Entah ini pencitraan di tengah naiknya Balik Nama Kendaraan Bermotor atau apalah namanya? Entah ini ketulusan atau apa namanya?. Yang jelas bukti yang ada, dan tanpa jaim-jaim nya, Sang Presiden ini telah membuktikan dan memberikan rasa ke-PeDea-an yang berlipat-lipat kepada kaum santri yang selama ini identik dengan kaum sarungan.

Sudah beberapa kali ini, saya melihat sendiri foto-foto yang berseliweran di media sosal dan media online dan saya yakin bukan hoax, di beberapa event resmi maupun event tidak resmi (baca; santai) Sang RI nomer satu ini memakai sarung. Menurut saya, pesan moralnya sangat jelas sekali. Tampaknya RI 1 ini memberi pesan setidaknya:

1. Sarungan itu, saat ini (juga) bisa dipakai di acara-acara resmi kenegaraan.

2. Sarungan adalah ciri khas kaum pesantren dan kaum santri yang telah sangat berjasa ikut mendirikan NKRI ini.

3. Sarungan sebagai bukti busana yang bisa melawan “arogansi” busana trans-ideologi “impor” ala Arab yang belakangan muncul dengan “gerakan” arabisasi dan arabismenya.

4. Sarungan menampakkan sikap dan berbusana yang elegent, sekaligus sikap berbusana yang sederhana.

5. Sarungan sangat nyaman dipakai serta “ngisis” untuk segala situasi.

6. Sarungan sebagai bentuk “perlawanan” terhadap sikap dan berbusana yang borju, berbusana serba impor yang hidonistik.

7. Sarungan sebagai bukti telah eksis nya kaum santri, telah diterima nya kaum santri dan pesantren dipentas pemerintahan dan negara.

Dari beberapa Presiden RI, memang hanya Gus Dur dan Jokowi ini yang tampaknya “tidak setengah-setengah” dalam mempopulerkan dan “melembagakan” sarungan ini menjadi busana yang resmi plus juga tidak resmi bahkan begitu tampak keren abis, elegant dan mantab abis.

Saya pribadi, walau dari dulu suka pakai sarung, tapi hanya terbatas di tempat-tempat tertentu dan di kalangan intern saja. Sejak saya lepas kuliah dan sudah tidak jadi mahasiswa (lagi), awalnya sering pakai celana levis dengan berbagai merk terkenal. Perlahan celana-celana saya itu jarang saat ini saya pakai, bahkan (bisa jadi) hanya setahun sekali bahkan (terkadang) lebih dari itu.

Sebelum RI 1 ini sering pakai sarung di beberapa event, saya sudah lebih sering memakainya. Bukan karena (apa?), tapi karena memakainya lebih enak dan lebih praktis saja, tidak perlu pakai sabuk, ngisis dan mudah buat bergerak ke sana kemari. Bahkan beberapa kali saya sudah terbiasa memakainya di tempat-tempat umum, perjalanan naik kereta dari Surabaya ke Solo dan dari Solo pulang ke Madura serta di beberapa perjalanan dengan berkendaraan pribadi sudah lama terbiasa memakainya.

Dulu, kalau ada orang pakai sarung di tempat-tempat umum, biasanya langsung divonis (dituduh), itu pasti orang Madura (karena di Madura, memakai sarung sudah sangat lazim dipakai), sekarang image itu sepertinya sudah tidak lagi karena siapapun dan dari manapun asalnya, saat ini sarung sudah trendy dipakainya.

Jokowi sebagai Presiden telah memberikan contoh yang super dan mantab luar biasa. Tidak kelihatan tampak canggung dan tidak ada rasa jaim atau apa gitu! Indonesia ini yang saat ini sedang banyak digempur dengan cara berpakaian (seakan-akan harus serba Arab dan sedikit-sedikit harus Arab) dengan arabisasi dan arabismenya, baik doktrin termasuk cara berbusana.

Pun juga, maraknya radikalisme, terorisme, fundamentalisme beragama yang belakangan muncul dan mencoba mencabik-cabik persatuan dan kesatuan kita dalam berbangsa dan bernegara, maka dengan RI 1 ini semakin mempopulerkan sarungan ini, semakin sangat jelas pesan “tersirat” yang dibawa sang RI 1 ini. Mari kita lawan paham-paham trans-ideologi tersebut dengan Islam yang ramah, santun, yang menghargai budaya, dan yang rahmatan lil ‘alamin.

Selamat buat Pak Presiden! Panjenengan layak saya acungi jempol lima untuk cara berbusana yang ini. Wallahu A’lam. (*)

Fawaid Abdullah, Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin, Kombangan, Bangkalan.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network