Maulid Nabi Versus Reuni 212, Oase Kesejukan dan Politik Kerumunan

Para santri Darunnajah khusuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, di Masjid Jamik Darunnajah, 3 Desember 2017 (santrinews.com/ist)

Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang banyak digelar masyarakat harus menjadi momentum untuk menyebar kedamaian dan nilai-nilai kebaikan di tengah tahun politik yang kian memanas.

“Maulid Nabi dan istighastah kubro yang digelar di beberapa titik dalam waktu dekat ini menjadi oase kesejukan di tengah tahun politik yang makin memanas dan dipenuhi banyak fitnah,” kata Ketua PBNU KH Abdul Manan Ghani, Jumat, 30 Nopember 2018.

Baca: Bela Islam dengan Maulid Nabi

Menurut dia, keteladanan akhlak Nabi Muhammad perlu dibumikan dengan menjadi pribadi yang menjauhi sikap permusuhan sesama anak bangsa.

Pada Ahad, 2 Desember 2018, di beberapa tempat bakal digelar peringatan Maulid Nabi dan Istighotsah Kubro. Di antaranya di Masjid KH Asy’ari di Jakarta Barat, Masjid Izzatul Islam di Bekasi, Pondok Pesantren Nur Antika di Tangerang, Yayasan Al Murodiyah As Salimiyah di Depok, Majelis Ratib Maulid dan Talim Ittihaadus Syubban di Depok, Masjid Agung Al-Barkah di Bekasi, dan Pesantren Ainur Rohman Linahdlotil Ulama di Tangerang Selatan.

“Umat merindukan momen-momen religius menyejukkan, tidak ditungganggi kepentingan politik, dan tidak menanamkan sikap dendam atau membenci orang lain,” ujarnya.

Baca juga: Maknai Maulid Nabi untuk Islam Damai

“Akan sangat baik jika kita semua beramai-ramai datang ke majelis seperti Maulid Nabi dan Istighotsah akbar tersebut untuk menggali keteladanan Nabi sekaligus berdoa untuk keselamatan dan kemajuan bangsa tercinta,” sambungnya.

Reuni 212, Politik Kerumunan
Terkait digelarnya reuni alumni 212 di Monas Jakarta, Ahad, 2 Desember 2018, KH Abdul Manan menilai hal tersebut tidak perlu dilakukan. Pasalnya, mereka sudah tidak ada lagi kepentingan.

“Bagi saya 212 sudah nggak perlu, apa perlunya, apa yang perlu dibela?” ujar Kiai Manan.

Reuni tersebut untuk memperingati dua tahun Aksi Bela Islam tahun 2016 yang menuntut mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum. Ketika misi itu sudah berhasil, gerakan tersebut menjadi rawan dipolitisasi.

Baca juga: Sikapi Reuni 212, Dai Muda: Jangan Cederai Demokrasi dan Ukhuwah

Meski demikian, jika reuni ini tetap diselenggarakan, KH Manan menekankan agar diisi dengan materi-materi menyejukan yang mengedepankan persatuan bangsa. Dari sisi ceramah yang akan disampaikan pun harus bernada menyejukkan. Tidak memancing pergesekan antarkelompok masyarakat.

“Ceramah-ceramah yang menyejukannya yang bikin tenang masyarakat,” pesannya.

Selain itu, ceramah tersebut juga harus yang sesuai dengam kebutuhan masyarakat. Dengan mengedepankan doa-doa yang baik. Meliputi doa untuk agama, maupun doa untuk kehidupan dunia dan akhirat.

“Yang sejuk itu sesuai kebutuhan umat, jangan umat digiring-giring untuk kepentingan politik tertentu,” pungkas Kiai Manan.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie meminta kegiatan reuni 2018 itu untuk dihargai. Namun, menurut dia, kegiatan itu sebenarnya tidak produktif.

“Kalau terus menerus berkali-kali pakai alumni, lama-lama itu tidak produktif,” kata Jimly di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 29 November 2018.

Baca juga: Reuni 212, Merayakan Kejahatan Berbungkus Agama

Menurut Jimly, sebaiknya kaum muslimin tidak terlalu mengedepankan soal jumlah atau banyak-banyakan crowd politic atau politik kerumunan. Daripada kumpul-kumpul dengan ekspresi kemarahan, Jimly menyarankan umat Islam fokus meningkatkan kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta iman dan taqwa yang kuat.

“Dan bekerja, berjuang secara terorganisir untuk kemajuan bangsa. Jadi politik kerumunan itu cukup untuk ekspresi,” kata dia. (us/nuo)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network