Seri Sembarang Kalir

“Sandiwara” Mbah Bisri

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

INI adalah kisah yang menarik tentang Mbah Bisri Mustofa, ayahanda dari Gus Mus (KH A Mustofa Bisri).

Mbah Bisri mungkin bisa disebut sebagai kiai NU yang paling produktif menulis kitab dalam bahasa Jawa. Ada lebih dari seratus karangan -besar dan kecil””yang lahir-deras dari tangan beliau. Beberapa di antaranya masih populer hingga sekarang, salah satunya adalah tarjemahan trilogi kitab penting di pesantren yang berkenaan dengan tata bahasa Arab: Jurumiyyah, “˜Imrithi dan Alfiyyah.

Tetapi, tentu saja, yang paling populer hingga sekarang dan masih dibaca oleh masyarakat Jawa di kawasan pantura adalah tafsir berbahasa Jawa berjudul Al-Ibriz. Dalam kepustakaan berbahasa Arab, kita kenal karya tafsir yang bisa disebut paling populer di dunia Islam, yaitu Tafsir Jalalain. Tafsir Al-Ibriz yang ditulis oleh Mbah Bisri boleh kita sebut sebagai Jalalain-nya masyarakat Muslim Jawa.

Saya mendengar banyak sekali kisah-kisah yang menarik tentang “proses kreatif” dan aktivitas kepengarangan Mbah Bisri melalui Gus Mus. Salah satunya berkenaan dengan masa-masa awal Mbah Bisri menjadi pengarang, jauh sebelum melesat menjadi mu’allif Jawa yang populer. Inilah kisah yang saya dengar dari Gus Mus.

Suatu waktu, Mbah Bisri menyelesaikan naskah, dan ingin menawarkannya kepada sebuah penerbit yang lumayan terkenal pada zaman itu (sekitar tahun 50-an), Penerbit Salim Nabhan, di Surabaya.

Berangkatlah beliau dari Rembang ke Surabaya dengan kendaraan umum. Saat bertemu dengan Salim Nabhan, seorang keturunan Arab yang menjadi pemilik penerbit itu, Mbah Bisri mencoba menyamarkan diri dengan menyembunyikan nama aslinya. Kepada Salim Nabhan, beliau mengaku bernama Masyhadi.

Sebetulnya nama Masyhadi bukan nama yang beliau karang-karang sendiri. Ini adalah nama Mbah Bisri saat masih kecil sebelum belakangan diganti oleh guru beliau, Kiai Kholil Kasingan. Tradisi mengganti nama kecil saat seorang anak telah dewasa sangat umum di masyarakat Jawa. Mungkin bagian dari “les rites de passage”, perayaan memasuki usia dewasa.

Kenapa Mbah Bisri menyembunyikan nama aslinya, kurang terlalu jelas. Mungkin ini strategi beliau untuk “memasarkan” karyanya kepada penerbit. Lalu terjadilah percakapan berikut ini.

“Nama saya Masyhadi,” kata Mbah Bisri yang “menyamar” sebagai Masyhadi itu. “Saya diutus oleh Kiai Bisri Mustofa Rembang untuk menawarkan naskah ini. Barangkali Bapak tertarik.” Lalu Mbah Bisri menyodorkan naskah karangannya itu kepada Salim Nabhan.

Pak Nabhan menelaah naskah itu beberapa saat. Instink bisnisnya mengatakan, karya itu tampaknya akan cukup laku. Lalu, “Dihargai berapa naskah ini?” tanya Pak Nabhan.

“Kata Kiai Bisri, sepuluh ribu rupiah,” jawab Masyhadi alias Mbah Bisri. Tentu saja Pak Nabhan tak menerima begitu saja penawaran itu. Kata dia: “Bagaimana kalau saya tawar delapan ribu rupiah saja?”

Mbah Bisri menjawab: “Wah, saya ndak berani memutuskan sendiri, Pak Nabhan. Saya harus tanya kepada kiai saya.”

“Ya sudah, tanya sana kepada kiaimu,” kata Pak Nabhan.

Mbah Bisri tidak segera berlalu. Beliau pura-pura panik dan agak bingung. “Lho, ada apa, Masyhadi?” tanya Pak Nabhan. “Anu, Pak Nabhan, tadi saya berangkat dari Rembang ke sini cuma diberikan ongkos sekali jalan saja oleh Kiai Bisri,” jawab Masyhadi. “Ya sudah, ini saya kasih ongkos pulang ke Rembang,” kata Pak Nabhan, sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Mungkin agak sedikit kesal. Ini jual naskah, malah minta ongkos! Hehehe…

Masyhadi alias Mbah Bisri berlalu dari ruang tamu Pak Nabhan, pamitan, sambil “uluk salam”. Alih-alih pulang ke Rembang, Mbah Bisri malah bertolak menuju Kediri, dengan “sangu” dari Pak Nabhan. Di sana, dia hendak mengunjungi seorang teman yang pernah sama-sama “nyantri” kepada Kiai Kholil Kasingan, Rembang.

Temannya itu bernama Kiai Mahrus Ali Lirboyo, Kediri. Kiai Mahrus pernah menjabat sebagai Mustasyar PBNU setelah Muktamar NU ke-27 pada 1984. Mbah Bisri menginap di sana, ngiras-ngirus (sekaligus) reuni-an dengan “class-mate”-nya waktu di pesantren.
Esok harinya, Mbah Bisri bertolak kembali ke Surabaya untuk menemui Salim Nabhan.

“Kata Mbah Bisiri, monggo mawon, jika naskah ini mau dibeli seharga delapan ribu,” kata Mbah Bisri. Lalu Pak Nabhan menyerahkan harga naskah itu kepada Mbah Bisri. Dan pulanglah Mbah Bisri dengan membawa uang delapan ribu, plus “susuk” (kelebihan) ongkos Surabaya-Rembang dari Salim Nabhan yang ternyata hanya beliau gunakan untuk transportasi Surabaya-Kediri.

Strategi “marketing” yang cerdik, hehehe“¦

Begitulah, Masyhadi alias Mbah Bisri berkali-kali menawarkan naskah ke Salim Nabhan. Karena cukup laku, semua naskah yang ditawarkan oleh Mbah Bisri melalui kurir bernama “Masyhadi” yang tak lain adalah dirinya sendiri itu tak pernah ditolak oleh si penerbit.

Hingga suatu saat si empunya penerbit merasa berkewajban secara moral untuk mengunjungi “ndalem” (rumah) Kiai Mustofa Bisri di Rembang — kiai yang karya-karyanya telah banyak ia terbitkan dan mendatangkan keuntungan itu.

Niat itu ia kabarkan kepada Masyhadi. Tentu saja yang terakhir ini agak panik mendengar niat Pak Salim Nabhan itu. Cemas jika penyamarannya terbongkar. Masyhadi mencoba cari akal. Selama ini, setiap pergi ke Surabaya, dia sengaja memakai pakaian biasa. Pakaian santri. Bukan pakaian kiai. Untuk menutupi identitas dirinya, Masyhadi mencoba memakai sorban yang agak besar, supaya kelihatan benar-benar seperti kiai.

Saat bertamu ke Rembang dan berjumpa dengan Kiai Bisri Mustofa, Pak Nabhan tak menaruh curiga apapun. Tetapi setelah ngobrol ngalor-ngidul beberapa saat, dia akhirnya merasakan hal yang janggal. “Orang ini kok seperti Masyhadi yang selama ini menemui saya di Surabaya ya,” kata Pak Nabhan dalam hati. Dia tak berani mengemukakan keragu-raguan ini secara terus terang kepada Mbah Bisri. Tapi, lama-lama, ia tak bisa menahan.

“Sebentar, njenengan ini kok seperti Masyhadi ya, Kiai Bisri?” tanya Pak Nabhan.

Merasa penyamarannya sudah “kedarung” (terlanjur) terbongkar, akhirnya Mbah Bisri mengaku bahwa, ya, Masyhadi itu memang dia sendiri.

Bukan marah, Pak Nabhan malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar pengakuan Mbah Bisri itu. Lalu, terjalinlah hubungan yang kian akrab antara kedua orang itu.

Naskah-naskah Mbah Bisri terus ditebitkan oleh Salim Nabhan, hingga akhirnya beliau, karena satu dan lain hal, memutuskan untuk menyerahkan karya-karyanya kepada penerbit lain: Penerbit Menara Kudus.(*)

Catatan:
Kiai Bisri Mustofa adalah ayahanda Gus Mus. Nama Gus Mus sendiri adalah Mustofa Bisri. Jangan tertukar-tukar.

Jakarta, 22 Juli 2016

Terkait

Hikmah Lainnya

SantriNews Network