Titik Terang Calon Menteri Agama

Koalisi tanpa syarat sebagai batas kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla akan diuji secara langsung oleh publik Indonesia. Apakah realitas ideal politik atau hanya sekedar market popularitas dalam pencalonannya. Mengingat kultur politik Indonesia dikenal dengan bagi-bagi kekuasaan sebagai konpensasi terhadap beberapa partai politik pendukung.

Pada taraf ini kepemimpinan Jokowi-JK harus mencerminkan kepemimpinan rakyat, bukan kepemimpinan golongan partai politik tertentu. Sebab, politik “dagang sapi” yang selama ini dipertontonkan tidak jarang menyisakan problem korupsi para pejabat. Keterwakilan partai politik dalam jabatan menteri, setidaknya era kepemimpinan Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbukti banyak yang terjerat prilaku koruptif. Hal ini, dikarenakan politik “dagang sapi” yang melahirkan jabatan menteri sebagai “sapi perah” partai politik.

Tapak tilas kementerian selama ini menjadi pelajaran penting bagi kepemimpinan Jokowi-JK untuk menyusun kabinetnya. Oleh karena itu, salah satu tugas dasar Jokowi-JK yang dipastikan menang oleh KPU sebelum keluarnya keputusan MK adalah penyusunan kabinet yang bermartabat. Kabinet profesional dan memiliki integritas akan mengangkat pamor kinerja Jokowi-JK kedepan, bukan sekedar keterwakilan parpol (Jawa Pos, 26 Juli 2014).

Profesional-Integritas menuju Indonesia Bermartabat
Upaya Jokowi-JK menyusun kabinet bermartabat, profesional dan memiliki integritas dilakukan dengan cara menjaring berbagai masukan dari masyarakat. Langkah ini mendapatkan apresiasi semua lapisan masyarakat, karena dengan demikian diharapkan akan munculnya putra bangsa yang siap mengabdikan keahliannya sebagai menteri untuk membangun bangsa yang bermartabat.

Kementerian yang mendapat sorotan tajam adalah kementerian agama. Kementerian ini dianggap sebagai kementerian yang sarat dengan praktik korupsi dan perilaku culas yang tidak mencerminkan perilaku agamawan. Sesuai dengan ketentuan kriteria Menteri Agama era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang disampaikan Juru bicara Jusuf Kalla, Poempida Hidayatullah bahwa kriteria Menteri Agama secara umum harus disegani dan diterima oleh semua kelompok agama dan golongan lapisan masyarakat. Hal ini didasari oleh banyaknya agama dan kompleksitas keberagamaan Indonesia (SantriNews.com, 27 Juli 2014).

Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia harus mampu menaungi agama yang lain. Perjalanan menteri agama yang selalu dijabat oleh orang dengan identitas agama islam sebagai bukti bahwa agama islam mampu bersanding dengan agama lain dengan prinsip bahu membahu dan bersikap toleran. Pada taraf ini Islam sebgai agama menjadi bukti rahmatan lilalamin bagi semua.

Penunjukan menteri agama yang berlatar belakang agama islam masih memiliki sisa persoalan keberagamaan di dalamnya. Paling tidak posisi menteri agama dihadapkan pada dua keompok keberagamaan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Apabila berasal dari kalangan Nahdliyin, maka ia dituntut mampu berdialog dengan muhammadiyah, begitu juga sebaliknya. Selain berdialog juga harus mampu mengayomi kelompok-kelompok di internal umat islam maupun kelompok-kelompok agama lain. Oleh karena itu profesionalitas, integritas dan kredibilitas menjadi pertimbangan utama dalam menentukan Menteri Agama.

Sejauh ini ada sejumlah nama yang berkibar dan dipandang layak untuk mengisi posisi Menteri Agama adalah Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), HM Ridwan Nasir (Mantan Rektor IAIN (Sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya/Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim), Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama yang sekarang), dan Siti Musdah Mulia (Intelektual Muslim Perempuan/Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jauh-jauh hari, Jokowi telah memastikan bahwa “Menteri Agama dari kalangan Ahlussunnah Waljamaah atau Nahdlatul Ulama (NU) bila dirinya mendapat mandat dari rakyat jadi presiden”.

Menurut penulis, empat nama tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Azyumardi Azra adalah sosok ilmuwan yang dibuktikan dengan dirinya sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan beliau tinggal di Jakarta yang dekat dengan media cetak dan elektronik sehingga popular di kalangan masyarakat. Realitas yang sama dialami oleh Siti Musdah Mulia yang juga seorang Intelektual Muslim Perempuan dengan predikat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Namun kedua tokoh tersebut menemukan resistensi dari kalangan pesantren sebagai basis keagamaan rakyat Indonesia. Azyumardi Azra yang selama ini menjaga jarak dengan dunia pesantren tidak akan mampu berdialog dengan dialog bermartabat dengan irama pesantren yang mayoritas Nahdliyin. Sedangkan Siti Musdah Mulia adalah perempuan yang masih dalam perdebatan kontroversial di kalangan pesantren dan akademisi muslim Indonesia tentang keabsahan kepemimpinan perempuan. Pada taraf ini, kedua tokoh tersebut tidak mungkin mampu menopang efektifitas kepemimpinan Jokowi-JK kedepan.

Berbeda dengan Lukman Hakim Saifuddin yang populer di kalangan masyarakat semenjak penunjukannya sebagai Menteri Agama yang menggantikan Suryadharma Ali yang diduga terjerat kasus korupsi. Ini menjadi bukti bahwa penunjukan Lukman Hakim Saifuddin dengan latar belakang partai politik yang sama dengan Suryadharma Ali adalah bagian dari konpensasi politik. Apalagi bacgroud partai politik Lukman Hakim Saifuddin tidak mendukung pencalonan Jokowi-Jk. Pada taraf ini, Lukman Hakim akan menjadi “batu sandungan” bagi kepemimpinan Jokowi-JK.

Berbeda dengan ketiga tokoh diatas, Prof Dr H.M Ridlwan Nasir yang memiliki bacgroud populis di seluruh lapisan masyarakat. Beliau adalah seorang ilmuwan dengan predikat gelar akademik sebagai Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya. Mauidhoh (teori) dan uswah (praktik) keberagamaan beliau menjadi alur keberagamaan masyarakat di sekitarnya. Selain sebagai ilmuan, beliau juga sebagai manajer yang mampu menjalankan roda pemerintahan secara apik dan bermartabat. Hal ini dibuktikan dengan dua periode kepemimpinan beliau sebagai rektor IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya.

Berdasarkan salah satu kriteria Menteri Agama yang dipatok Jokowi harus berasal dari kalangan Nahdliyin, maka beliau adalah sosok yang tepat. Sebab, beliau mengabdikan kehidupannya demi kemaslahatan umat melalui NU, mulai dari Tanfidiyah maupun Syuriah, dan sampai saat ini beliau sebagai Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur sebagai basis kalangan Nahdliyyin.

Selain alasan diatas terdapat beberapa rekam jejak yang menjadikan Prof Dr H.M Ridlwan Nasir layak menjabat sebagai Menteri Agama. Rekam jejak H.M Ridlwan Nasir yang patut dipertimbangkan itu, misalnya diantaranya adalah beliau pernah dipercaya sebagai ketua team seleksi KPU pusat dan tercatat pada tahun 2002 mengikuti diklat kepemimpinan tingkat nasional di KSA Lemhannas X.

Sosok Moderat dan Toleran
Kelayakan H.M Ridlwan Nasir sebagai Menteri Agama juga ditopang oleh paham dan sikap keagamaannya yang moderat dan toleran. Berdiri di atas semua golongan dan perbedaan baik inter agama maupun antar agama. Paham dan sikap ini ditempa di lingkungan pondok pesantren. Beliau dilahirkan di lingkungan pesantren yang sarat dengan muatan agama yang toleran dan rahmatan lilalamin. Beliau tercatat sebagai salah satu alumni senior Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Pesantren dengan kharisma KH M Hasyim Asy’ari ini telah melahirkan tokoh fenomenal sepanjang abad Indonesia ini dengan sikap toleransi keberagamaannya yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Jejak pemahaman Prof Dr H.M Ridlwan Nasir tidak jauh berbeda dengan guru-gurunya yang berdiri di atas semua golongan dan memperhatikan kelompok atau golongan marjinal.
Perpaduan pengalaman manajerial birokrasi, integritas, kapabelitas, profesionalitas diri dan praktik intelektualitas keberagamaan yang moderat menjadi pertimbangan penting untuk menempatkan Prof Dr H.M. Ridlwan Nasir sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Jika H.M Ridlwan Nasir menjadi Menteri Agama, maka semua lapisan masyarakat yang memiliki ideologi moderat dipastikan akan mendukung demi menjaga keberlangsungan NKRI dan menciptakan Indonesia sebagai Negara yang bermartabat di mata dunia.

Akhirnya, otoritas penunjukan calon pengisi jabatan Menteri Agama dalam kabinet mendatang berada di tangan Jokowi-JK. Tapi penulis yakin, Jokowi-JK akan memilih secara tepat untuk Islam keindonesiaan dengan empat pilar kebangsaan. (*)

Dr Ali Hasan Siswanto, Penikmat MOROLOGI (Pengetahuan Moral-Politik) UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network